Metodologi Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an oleh Dr. Ulil Amri Syafri (Dosen UIKA Pasca Sarjana Bogor)
PENDAHULUAN
Krisis
yang paling menonjol dari dunia pendidikan kita adalah krisis
pendidikan akhlak. Dapat disaksikan saat ini betapa dunia pendidikan di
Indonesia tidak dapat menahan kemerosoton akhlak yang terjadi. Arif
Rahman menilai bahwa sampai saat ini masih ada yang keliru dalam
pendidikan di TanahAir. Titik berat pendidikan masih lebih banyak pada
malasah kognitif. Penentu kelulusan pun masih lebih banyak pada prestasi
akademik dan kurang memperhitungkan akhlak dan budi pekerti siswa.[1]
Bahkan jika dilihat dari sudut global, munculnya banyak masalah yang
mendera bangsa Indonesia adalah akibat rendahnya moral dan akhlak para
pelaku kebijakan yang juga diikuti oleh rendahnya etos kerja masyarakat.[2]
Belum lagi jika diikuti statistik perkembangan terkait kasus-kasus
akhlak buruk pelajar maupun mahasiswa, seperti tawuran sesama mereka,
plagiat dalam karya ilmiah dan masalah pergaulan bebas yang sudah sangat
meresahkan dan membosankan sebagian orang yang mendengar beritanya.[3]
Sebenarnya
konsep-konsep pendidikan nasional yang disusun pemerintah sudah
menekankan pentingnya pendidikan akhlak dalam hal pembinaan moral dan
budi pekerti sesuai UU Sisdiknas tahun 1989 atau revisinya tahun 2003.
Disebutkan dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 UU No.20/2003 bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan manusia yang beriman
dan bertakwa, dan dalam pasal 36 tentang Kurikulum dikatakan bahwa
kurikulum disusun dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa,
meskipun dalam pasal-pasal tersebut kata-kata ‘iman dan takwa’ tidak
terlalu dijelaskan. Namun kenyataannya dapat dikatakan bahwa mayoritas
akhlak para peserta didik yang dihasilkan dari proses pendidikan di
Indonesia tidak sesuai dengan yang dirumuskan.[4]
Menurut
Ahmad Tafsir, kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia
selama ini adalah karena para konseptor pendidikan melupakan keimanan
sebagai inti kurikulum nasional.[5]
Meskipun konsep-konsep pendidikan nasional yang disusun pemerintah
dalam UU Sisdiknas 1989 sudah menekankan pentingnya pendidikan akhlak
dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti, namun ternyata hal tersebut
tidak diimplementasikan ke dalam kurikulum sekolah dalam bentuk
Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Akibatnya, pelaksanaan
pendidikan di tiap lembaga tidak menjadikan pendidikan keimanan sebagai
inti semua kegiatan pendidikan yang berakibat lulusan yang dihasilkan
tidak memiliki keimanan yang kuat.[6] Jadi bisa dikatakan bahwa penyebab terbesar dalam krisis pendidikan ini adalah akibat gagalnya pembangunan karakter anak didik yang mengabaikan pembinaan akhlak dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung.
Pada
sisi lain, beberapa pemerhati pendidikan Islam di Indonesia telah
berusaha memecahkan masalah tersebut dengan membuat konsep-konsep atau
model-model pendidikan yang dapat mengurangi kelemahan sistem pendidikan
tersebut. Namun masalah terbesarnya kini adalah bahwa hampir sebagian
besar para ilmuwan Islam masih terjebak dalam epistemologi pendidikan
Barat. Konsep dan metode yang dihasilkan tetap tidak dapat dilepaskan
dalam paradigma keilmuwan Barat yang mengambil logika sebagai sumber
ilmu.[7]
Maka ketika mereka mencoba mengaplikasi nilai-nilai keimanan dan
ketakwaan yang disusun dalam UU Sisdiknas, mereka tidak dapat melepaskan
worldview Barat dalam pelaksanaannya, sehingga gagasan yang
ditawarkan tetap tidak mampu menterjemahkan aspek keimanan yang
tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut.
Di sini terlihat ada missing link antara teori yang ada dan aplikasinya di lapangan. Artinya,
hal tersebut diakibatkan karena tidak terimplikasinya konsep-konsep
Islam secara tepat ke dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal
pembangunan karakter anak didik. Para pemerhati pendidikan Islam di
Indonesia yang terjebak paradigma Barat kurang tepat menerjemahkan ‘iman
dan takwa’ yang dimaksud sehingga yang muncul dalam penerapan di
lapangan adalah mereka tidak mengintegralkan antara aspek kognitif
(intelektual) dan aspek afektif (rohani/akhlak) para peserta didik
sesuai dengan epistemologi pendidikan Islam.[8]
Selain
itu, proses pendidikan akhlak yang ada dalam lingkungan pendidikan
selama ini hanya bersifat naratif dan verbalis, bagian kognitif
mengalahkan proses pengamalannya. Metodologi yang ada pun ternyata tidak
memiliki efek mendorong dan pencegahan peserta didik untuk merespon
pendidikan akhlak.
Dengan
bukti-bukti kasus penyimpangan akhlak yang terjadi pada para peserta
didik, nampak terlihat tidak tertanamnya dengan baik mana akhlak yang
mesti dijadikan karakter dan mana akhlak yang dilarang untuk
mengerjakannya. Jika pendidikan akhlak tersebut disampaikan dengan
perencanaan yang baik, termasuk metodologi pengajarannya, maka bangunan
karakter anak didik akan mulai terbentuk dari usia yang amat tepat, khususnya di lingkungan sekolah.
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM ISLAM
Menurut
peneliti, jika ingin membuat konsep-konsep pendidikan yang mengacu pada
ajaran Islam maka penting untuk melihat landasan Islam itu sendiri.
Oleh karena itu metodologi pendidikan akhlak yang ada pun harus diambil
dari landasan Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah yang mengatakan, “Sesungguhnya
telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang bila kamu berpegang
teguh kepadanya pasti tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu
al-Qur’an dan Sunnahku” (HR. Bukhari). Keduanya menjadi basis atau dasar dalam pendidikan Islam tersebut.[9]
Setidak-tidaknya ada dua alasan besar yang bisa disebutkan bahwa al-Qur’an berperan besar melakukan proses pendidikan kepada ummat manusia.[10] Pertama, Al-Qur’an banyak menggunakan term-term yang mewakili dunia pendidikan, misalnya term Ilmu yang diungkap sebanyak 94 kali (belum termasuk turunan katanya), hikmah yang menggambarkan keilmuan diungkap sebanyak 20 kali, ya’kilûn yang menggambarkan proses berfikir diungkap sebanyak 24 kali, ta’lam yang diungkap sebanyak 12 kali, ta’lamûna yang diungkap sebanyak 56 kali, yasma’ûn yang diungkap sebanyak 19 kali, yazakkaru yang diungkap sebanyak 6 kali, dan term-term lainnya.
Kedua,
Al-Qur’an mendorong ummat manusia berfikir dan melakukan analisa pada
fenomena yang berada di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Dalam hal
ini, al-Nahlawy menjelaskan bahwa ada empat cara tahapan al-Qur’an
melakukan hal tersebut[11], yaitu :
- Al-Quran mengungkapkan realita-realita yang dihadapi langsung oleh manusia, seperti laut, gunung, bulan dan lain sebagainya. Kemudian al-Qur’an mendorong akal manusia untuk merenungkan proses tersebut. Pada konteks ini al-Qur’an selalu memberikan motifasi bahwa semua ini adalah tanda-tanda bagi komunitas yang berakal.
- Al-Qur’an memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia terkait tentang alam semesta.
- Al-Qur’an mendorong fitrah manusia untuk menyadari bahwa realitas alam ini butuh satu kekuatan yang mengatur, penjaga keseimbangan, ada keterkaitan yang erat antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dan pada akhirnya sampai pada kesimpulan tentang hubungan antara manusia dengan Sang Khalik tersebut, Allah SWT.
- Al-Qur’an mendorong manusia untuk tunduk dan khusyu’ kepada Sang Khalik, diikuti kesiapan untuk merealisasikan kesadaran tersebut.
Keistimewaan
proses pendidikan yang digambarkan al-Qur’an ini nampak pada segi
penyampaian argumennya. Argumen pada ayat-ayat al-Qur’an tersebut selalu
dibangun beriringan dengan ayat-ayat kauniyah, dimana pola
tersebut ikut menata kemampuan fikir, gerak dan intuisi yang ada pada
manusia. Kesemuanya ini memperlihatkan bahwa al-Qur’an telah melakukan
upaya sangat positif dalam melakukan proses pendidikan terkait wawasan
eksistensi manusia.[12]
Menurut Syaikh Saltut, al-Qur’an mengunakan empat cara dalam menjelaskan pendidikan yang ada dalam ayat-ayatnya,[13] yaitu:
- Melalui pendidikan pada manusia agar terdorong meneliti, mentadabburi kekuasaan jagad raya ciptaan Allah SWT. Hal ini merupakan bentuk pemuliaan Allah kepada akal manusia, sehingga manusia mampu mencerahkan keagungan ciptaan-Nya seperti udara, air, guna pemberdayaan tugas kekhalifahan;
- Melalui pendekatan cerita-cerita ummat masa silam, baik kisah yang berjaya karena keshalehannya maupun yang mendapatkan azab karena kedzalimannya. Penyebutan kisah tersebut lebih kepada ittiba’, bukan dalam tataran kajian historisnya ataupun sekedar parade ketokohan;
- Melalui penyadaran perasaan sehingga mampu mencerna sunatullah dalam kehidupan;
- Melalui pendekatan berita-berita kabar gembira atau ancaman.
Dalam
menjelaskan setiap ayat-ayatnya, al-Qur’an memiliki metodologi yang
beragam dalam menjelaskan ayat-ayatnya. Menurut Muhammad Arifin, gaya
bahasa dan ungkapan yang terdapat di dalam al-Qur’an menunjukkan
fenomena bahwa pesan-pesan al-Qur’an mengandung nilai-nilai metodologis
yang memiliki corak dan ragam sesuai situasi, kondisi, dan sasaran yang
dihadapi. Di dalam mengunakan cara dengan pendekatan perintah dan larangan (‘amr wa nahi), Allah senantiasa memperhatikan kadar kemampuan masing-masing hamba-Nya, sehingga ‘taklif’ (beban) itu berbeda-beda meskipun dalam tugas yang sama. Sistem pendekatan metodologis yang diungkapkan al-Qur’an bersifat multi approach, yang meliputi pendekatan religius, filosofis, sosio kultural dan scientific.[14] Maka
amatlah tepat jika pendidikan dalam Islam bisa menerapkan metodologi
pendidikan akhlak yang tergambar dalam al-Qur’an tersebut.
Dalam
perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam
tersebut, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu
dihubungkan dengan ketentuan syariah dan aturannya. Tidak bisa dikatakan
sikap ini baik atau buruk hanya bersandar pada pendapat seseorang
ataupun kelompok, karena bisa jadi pendapat tentang kebaikan dan
keburukan sesuatu hal bisa berbeda antara dua orang ataupun dua
kelompok. Perbedaan itulah yang selalu muncul dalam kajian falsafah masa
klasik ataupun modern.[15] Para
filosof akhlak hingga kini belum bersepakat tentang tolak ukur konsep
akhlak tersebut, ada yang berstandar pada akal, ada pula yang berstandar
pada perasaan dan kebiasaan serta asas kebaikan dan keburukan, dan lain
sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa kajian akhlak pada konsep
falsafah belum tuntas dan perselisihan antar aliran falsafah tersebut
tidak mengalami kemajuan.[16]
Menurut
Amin Abu Lawi, akhlak dalam perspektif Islam mempunyai nilai samawi
yang bersumber dari al-Qur’an. Menurutnya, akhlak dapat dimaknai dengan
mengacu kepada hukum dan ketetapan syari’ah yang lima, yaitu hukum
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, karena itulah realitas akhlak .[17]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila akhlak berbasis kepada hukum yang
lima, maka klasifikasinya seperti berikut ini: akhlak wajib, seperti
prilaku jujur, amanah, iklas dan seterusnya; akhlak sunnah seperti
mengucapkan salam, memberi makan dan sedekah; akhlak mubah, seperti
bermain dan bersendau gurau dengan teman; akhlak makruh seperti tidak
berinteraksi dengan masyarakan dan hidup menyendiri; akhlak haram
seperti berzina, minum khamar, berdusta, berkhianat, mencuri dan lain
sebagainya.
Selain
itu, sumber akhlak lainnya adalah sunnah nabi Muhammad SAW. Pandangan
ini berdalil pada pendapat Aisyah ra ketika menafsirkan akhlak rasul
yang tergambar dalam “al-khuluq al-a’dim” (QS. Al-Qalam: 4), yaitu al-Qur’an.[18] Riwayat Muslim tersebut di-syarah-kan
oleh Imam Nawawi dalam kitab shalat, bahwa makna kalimat ‘akhlak
rasulullah itu adalah al-Qur’an’ adalah rasulullah mengamalkan
al-Qur’an, patuh pada ketentuan-ketentuanNya, beradab dengan al-Qur’an,
mengambil i’tibar dari perumpamaan dan kisah-kisah di dalamnya, mentaddaburinya serta membacanya dengan baik.[19]
Lebih jauh lagi, akhlak bagi seorang muslim adalah melaksanakan
perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya sesuai yang
diajarkan Rasulullah saw.[20]
Dalam
dunia pendidikan Islam, orientasi pendidikan Islam diarahkan untuk
menumbuhkan integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi
itu bergerak saling melengkapi satu sama lain sehingga mampu mewujudkan
‘insan yang shaleh’ (manusia sempurna) atau pribadi yang utuh.[21]
Perpaduan seluruh dimensi itu telah menjadi idealisme yang sering
digambarkan dalam ajaran Islam. Hanya pribadi yang memiliki perpaduan
potensi itulah yang layak untuk menjalankan fungsinya sebagai khalîfat fî al-‘ard
dengan kewenangannya mengelola, melestarikan, memakmurkan, dan
memberdayakan alam. Dari pandangan ini kita bisa melihat karakteristik
pemahaman Islam terhadap hakekat pendidikan akhlak,[22] yaitu:
- syumul dan mendalam karena tidak terkungkung pada teks-teks saja,
- integral karena mencakup berbagai sisi positif untuk melakukan pendidikan menyeluruh,
- menggunakan berbagai macam pendekatan dan memiliki metodologis pengajarannya luas,
- tidak terpaku pada satu teori yang diungkapkan para pemikir dalam Islam karena pendapat mereka hanya parsial dari makna akhlak itu sendiri,
- memberikan pemahaman paradigma yang luas tentang akhlak pada pelaku pendidikan,
- melakukan pelatihan pada pelaku pendidikan karena tidak cukup hanya memberikan pandangan ilmiah dan teori semata,
- pembentukan manusia dari sisi kebutuhan masyarakat dan kemanusiaan, hal ini dibangun dari rasa solidaritas, memahami hak asasi manusia, yang semua itu dilakukan di bawah naungan ibadah kepada Allah SWT.
[2]Dalam
tataran nasional, kegagalan hasil pendidikan di Indonesia bisa terlihat
dari tingginya indeks prestasi korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh ICW
dan rendahnya etos kerja di kalangan masyarakat pekerja. Menurut
data-data dari ICW, sumber kegagalan negara dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang ada adalah bermula dari bobroknya akhlak dan moral para
pemegang kebijakan yang menyebabkan suburnya praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme yang menyentuh seluruh sektor pembangunan. Para SDM yang
dihasilkan dari produk pendidikan yang ada, tidak menunjukkan hasil yang
lebih baik dari tahun ke tahun. Justru kebanyakan hasil outcome
pendidikan ini memperlihatkan sikap-sikap materialisme dan hedonisme
yang mempengaruhi tingkah laku dan kebijakan-kebijakan dalam
menyelesaikan permasalahan mereka. Maka tidak aneh jika ICW mengeluarkan
data yang diambil dari Transparasi Internasional Indonesia (TII)
tentang IPK Indonesia yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan
rendahnya indeks . Lihat Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW, http://www. antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/18572/stagnasi-pemberantasan-korupsi.
[3]Banyak
kasus terjadi di dunia pendidikan Indonesia yang berpangkal dari
keburukan moral para peserta didik. Mulai dari kasus-kasus kekerasan
yang terjadi di lembaga pendidikan seperti kasus STPDN, kekerasan yang
terjadi pada acara OSPEK (Orientasi Pengenalan Pelajar/Mahasiswa di
sekolah/kampus), sampai tawuran antar pelajar yang marak terjadi. Belum
lagi kasus plagiat karya ilmiah dalam bidang penelitian (mulai dari
skripsi hingga disertasi). Menurut Arief Rahman, fenomena kecurangan
atau plagiat itu dilakukan oleh murid-murid SD sampai mahasiswa S3. Hal
ini disebabkan
para pelajar maupun mahasiswa lebih memilih kelulusan dibanding
kejujuran. Padahal nilai terpenting dalam belajar adalah akhlak
kejujuran itu sendiri. Selain itu kasus pergaulan bebas antar pelajar
dan mahasiswa, kekerasan, kecurangan, dan lainnya. Di tahun 90-an,
wartawan Hartono Ahmad Jaiz pernah mengeluarkan survey tentang 60% lebih
mahasiswi suatu kampus sudah melakukan hubungan di luar nikah di Surat
kabar PELITA. Di Era globalisasi saat ini, dimana tekhnologi internet
sudah mendominasi, hal-hal seperti di atas sudah banyak terjadi di
kalangan pelajar hingga pelosok daerah. Berdasarkan hasil survei Komnas
Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di
12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa sebanyak 93,7%
anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks;
Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan; Sebanyak 21,2%
remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi; Dari 2 juta wanita Indonesia
yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah pelajar remaja perempuan.
Yang terbaru adalah dari hasil survey BKKBN 2010 yang mengatakan bahwa
51% pelajar di Indonesia telah melakukan hubungan pra-nikah. Beberapa
wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa
remaja. Misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen, Bandung 47 persen,
dan 52 persen di Medan. http: //dunia.web.id.com/ berita/
[7]Bukti
pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam adalah lahirnya
dikotomi pendidikan yang memiliki kesan jika pendidikan agama berjalan
tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta pendidikan umum
tidak memerlukan agama. Dikotomi yang terjadi ini menurut Mujamil Qomar
menyebabkan antara lain kegagalan merumuskan tauhid, lahirnya syirik
yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam, adanya dikotomi kurikulum,
lembaga pendikan yang melahirkan manusia berkepribadian ganda yang
menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan ummat yang sekuleristik,
rasionalistik-empiristik-intuitif, dan materialistik, lahirnya peradaban
Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam, serta lahirnya da’i yang
berusaha merealisasikan Islam dalam bentuk pemisahan kehidupan
sosial-politik-ekonomi-ilmu pengetahuan-tekhnologi dengan ajaran Islam,
dimana agama hanya menjadi urusan akhirat saja dan ilmu tekhnologi untuk
urusan dunia. Lihat Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 216-218.
[8]Ahmad Tafsir, Kajian Pendidikan Islam, hlm. 24.
[9]Dalam
al-Qur’an disebutkan bahwa al-Qur’an membimbing atau mendidik manusia
dari alam kegelapan dan kebodohan menuju kepada alam cahaya keilmuan.
Dalam QS. Ibrahim :1dijelaskan : Artinya: Alif, laam
raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang
dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa
lagi Maha Terpuji (QS. Ibrahim :1). Menurut Amin Abu Lawi ayat
tersebut menjelaskan tentang pendidikan dalam perspektif al-Qur’an,
bahwa tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah sebagai upaya untuk
mengeluarkan manusia dari alam jahîliyyah kepada cahaya keislaman. Adapun maksud dari cahaya jahîliyyah
adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT dan cahaya keislaman
adalah segala sesuatu yang diperintahkan dan dimubahkan olehNya. Amin
Abu Lawi, ‘Ushul al-Tarbiyyat al-Islâmiyyah, Riyadh: Dâr Ibn Jawzî, 1423H/2002, hlm. 27.
[12]Ibid.
[18]Cerminan
penjelasan Aisyah ra tentang akhlak Rasul adalah al-Qur’an. Maka
menurut Amin Abu Lawi, gambaran akhlak rasul tersebut terungkap dari
sikap realitas ketaatan rasul pada hukum dan ketetapan syari’ah. Ibid., hlm 58.
[23]Amin Abu Lawi, ‘Ushul al-Tarbiyyat, hlm. 56-60.
Subhanallah
BalasHapus